Tuesday, January 15, 2008

Rosenmarkt
Santiara Salinger - Zürich


Saya masuk barisan orang-orang yang tidak terlalu peduli dengan kondisi aktual mantan presiden kedua negara saya, Bapak Suharto. Selain saya juga tidak kenal dia secara pribadi lebih dari sebagai pemimpin negara selama 32 tahun. Saya bisa saja melewatkan semua tentang dia. Apa urusannya bagi saya? Politik yang langsung mempengaruhi hidup saya saat ini adalah politik Swiss dan EU. Apapun yang terjadi dengan dia tidak ada pengaruhnya bagi saya. Kenapa saya harus perduli kalau pipa-pipa dan kabel keluar masuk lubang-lubang dan pori-pori tubuh tuanya?

Tapi saya tidak tahan untuk tidak menulis ini. Saya berhutang padanya. Satu-satunya kesempatan bagi saya melihat Suharto sebagai flesh and blood adalah waktu saya remaja. Karena SMP saya benar-benar di pusatnya Jakarta, tidak jauh dari Monas dan Istana Negara, sekolah saya sering dilibatkan dalam even-even untuk menyanyikan lagu-lagu nasional. Selama itu saya tidak pernah melihat Suharto dari dekat sekali. Satu-satunya yang lumayan adalah waktu sekolah kami memeriahkan Pembukaan PPI (Pameran Produksi Indonesia). Kami dibariskan di muka yang kemudian dilewati Presiden. Teman-teman sekelas sempat bersalaman dengannya. Saya tidak. Saya malah tegang karena berusaha menangkap matanya. Tidak berhasil. Yang masuk dalam kotak memori saya adalah bahwa Suharto memiliki senyum yang khas. Senyum yang manis dan lunak. Seperti yang muncul di televisi dan kertas-kertas. Tapi yang saya tangkap hari itu berkata lain. Senyum itu kaku. Tidak dingin, seperti senyum Vladimir Putin, tapi kaku. Dibalik kelembutannya, Suharto adalah orang yang keras. Sebagai anak-anak pun saya sudah dididik orang tua untuk menghormatinya. Ia presiden negara saya.

Rasa hormat itupun lambat laun menipis. Mungkin karena bukan berasal dari kekaguman, tapi kepatuhan. Berangkat dewasa saya sadar bahwa Suharto bukan presiden, tapi raja. Tinggal tunjuk ini itu. Dan kroni-kroninya sangat memuakkan. Kerajaan kemunafikan. Suharto tidak sekeras yang saya pikir. Ia sangat lembek terhadap mereka. Betapa jauh jarak mereka dengan rakyat. Berani-beraninya mengucapkan sumpah di DPR dan mengaku peduli rakyat sementara tindakannya tidak jauh dari menutup mata dan hati, main gencet sana-sini. Dan Suharto diam saja. Saya merasa seperti anak gelap. Tidak melihat harapan, saya meninggalkan Indonesia. Siapa bilang Suharto bapak bangsa?

Beberapa hari belakangan ini ketika Suharto dikabarkan sakit keras (come on...he's almost 87, isn't he?...) orang berduyun-duyun memberi maaf. Heran saya, wong Suharto-nya sendiri tidak pernah minta maaf. Apalagi meneladani kroni-nya untuk menyesal dan dengan segala kerendahan hati meminta maaf. Sukur dibarengi dengan tindakan nyata membuka pintu air, eh pintu rekening, di bank-bank Swiss, Inggris, dan entah di mana lagi... God knows...

Kabarnya Suharto juga akan dibebaskan dari jeratan hukum. Well, it's geting too much now. Bukankah dewi keadilan itu menutup matanya sementara tangannya kukuh dan tegar menggenggam timbangan di udara. Bukankah semua orang sama kedudukannya di depan hukum? Memberi maaf meskipun tidak diminta adalah sikap yang manis. Tidak ada salahnya. Tapi hukum demi keadilan dan konsistensi sikap ya harus jalan terus. Kalau plin plan begini mau bagaimana kita mendidik anak-anak? Bagaimana menjelaskan pada mereka bahwa di bumi Indonesia semua warga negara adalah sama di mata hukum? Bagaimana menghapus kabut di mata mereka dan memperlihatkan jalan ke masa depan yang lebih terang dan pasti? Masih punya mukakah kita sebagai orang tua, pendidik, pengajar, suri tauladan?

Saya sedih tapi saya ga bisa apa-apa. Apalah saya ini. Cari makan pun saya numpang di rumah orang. Kadang-kadang ketika memasuki gedung UBS, Credit Suisse, pikiran saya melayang ke Indonesia. Uang negara saya ada di sini. Terkunci di tresor-tresor bawah tanah. Malang melintang di jaringan komputer-komputer raksaksa. Memang dalam prakteknya mereka diputar untuk bisnis dan social development di seluruh dunia. Ironis, justru rakyat Indonesia yang berhak dan sangat membutuhkan sama sekali tidak punya akses.

Tahun lalu ada lowongan di UBS untuk mereka yang menguasai bahasa Indonesia atau Melayu. Mengingat semakin banyaknya customers kaya dari Brunei, Malaysia dan Indonesia. Dan banyak dari mereka yang tidak berbahasa lain selain bahasa emaknya. Post ini tidak terlalu sulit karena mengandalkan kemampuan berbahasa Indonesia/Melayu, Jerman dan Inggris. Selain juga pengetahuan perbankan dan komputer. Tentu ada training. Don't worry. Won't be so hard. Berminat?

Just go ahead. Saya tidak ikutan berkompetisi. Dulu, kerja di bank tidak menarik bagi saya. Hihi... padahal cuma takut ga kuat iman aja kalau harus melihat mas Frank, bang Euro, kang Dollar bergepok-gepok seperti ga ada yang punya. Setiap hari lagi. Sekarang tantangannya bukan itu, karena di usia ini saya sudah paham misteri dan arti uang. Saya cuma tidak yakin kalau ga akan mules-mules menahan eneg ketika harus berhubungan dengan customers yang ternyata koruptor, pengeruk kekayaan alam negara, dsb...I have seen riches and son of bitches more than I can recall!

Bangsa Indonesia itu bangsa yang ramah, sopan, pemaaf, tidak enakan, sedikit-sedikit merasa sungkan. Sayangnya, seringkali tidak pada tempatnya. Salahkan pada feodalisme, norma masyarakat, pandangan turun temurun, apa saja. Yang pasti kemunafikan dan mental pengecut berperan besar di sini. Orang cari aman dan gampang. Yang normal-normal sajalah.

Hidup ini singkat. Or is it just a dream? Rasanya kita juga cuma numpang lewat di dunia ini. Tidak ada yang kita bawa setelah meninggalkan persinggahan ini dan melanjutkan perjalanan lebih jauh. Sebaliknya, kita meninggalkan bekas dan bercak. Perbuatan-perbuatan kita. Terutama yang masuk dalam rekaman memori orang lain.

Setiap akhir musim panas atau menjelang musim gugur di Zürich ada sebuah pasar kaget. Namanya Rosenmarkt karena diadakan di kawasan Rosengarten di Altstadt (kota tua). Di sini kita bisa membeli atau melihat-lihat produk yang unik dari negara-negara sedang berkembang (dari dulu berkembang terus, kapan ya berbuahnya?): Amerika Latin, Asia, Afrika dan Eropa Timur berupa hasil kerajinan tangan, perhiasan perak dan batu-batuan, juga aneka makanan yang agak aneh rupanya meskipun rasanya enak juga. Semacam pasar Gipsy-lah.

Saya tidak pernah pergi lagi ke sana setelah bertahun-tahun, sampai last summer. Karena cape dan haus menyusuri dan keluar masuk toko di Bahnhofstrasse saya dan kakak memutuskan untuk mencari bar, ngaso dikit. Di Altstadt ada banyak bar dan cafe. Kali ini kami pilih yang menghadap Rosenmarkt, asyik juga buat hiburan. Selain orang jualan, ada juga yang ngamen dengan piano butut. Sebenarnya gak banyak orang di sana, apalagi yang beli kebanyakan anak-anak muda atau mereka yang kebetulan mempunyai keterikatan dengan negara-negara asal produk yang dijual tersebut, misalnya turis dan backpackers yang pernah ke sana. Sayangnya, hujan kemudian turun dan cukup deras.

Ketika hujan reda kami meninggalkan Rosenmarkt. Hari sudah menjelang malam, tapi beberapa stand masih buka. Kasihan, tidak banyak yang bisa mereka jual. Temaram dan dingin sangat kontras dengan Bahnhofstrasse. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah stand kecil yang masih penuh timbunan berbagai produk ringan dari Amerika Selatan. Yang jaga kelihatannya orang Guatemala. Kelihatan cape dan agak sedih, meskipun tetap melempar senyum kepada kami. Yang menarik perhatian adalah selembar kain yang membentang sekenanya di salah satu sudut stand. Kain warna krem dari linen kasar. Di atasnya adalah tulisan tinta yang indah dan rapi sekali:

In the end what really matter is
how well did you
live,
how well did you
love,
how well did you learn to let go...

(S.G.)

Saya tahu siapa S.G. yang dimaksud. Jalan tercepat untuk pulang adalah menyeberang jembatan sungai Limmat yang menghubungkan Altstadt dengan Bahnhofstrasse. Setelah itu boleh pilih mau naik bis, tram atau kereta. Sewa sepeda juga bisa, kalau hari cerah. Sekali lagi melewati Bahnhofstrasse yang masih agak rame meskipun toko-toko sudah tutup. Kami berpapasan dengan turis-turis Asia dan mungkin juga ada yang dari Indonesia yang habis memborong barang branded. Beberapa orang masih asyik memandangi etalase toko.

Bank-bank yang megah tampak anggun meskipun terkesan angkuh dan dingin. Hotel St Gotthard dan Sweizerhof menyala indah, hangat: dinner is coming! Beberapa limousine mondar-mandir dari dan menuju Baur Au Lac, hotel terbesar dan terfancy di downtown Zürich yang terletak pas di depan danau, tempat tamu-tamu negara dan prominents of the world menginap.

Daun-daun maple di sepanjang Bahnhofstrasse mulai menguning. Beberapa hari lagi pasti akan berguguran. Summer is over. Alangkah singkatnya. Melanjutkan perjalanan, di dalam tram, barisan kalimat-kalimat sederhana di Rosenmarkt tidak mau menguap dari pikiran.

Kembali ke Suharto. Saya tahu ia tidak sekali dua kali ke Swiss. Saya yakin ia tidak pernah blusukan ke Rosenmarkt. Maybe later, in his next life. Jika saja ia beruntung untuk dilahirkan lagi ke dunia ini. Dengan badan yang baru. But, I doubt it.

Di luar semua teori dan dogma, saya tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kematian. Dalam sebuah blog orang Amerika pernah ada topik tentang NDE (Near Death Experience). Hampir seribu orang yang pernah melewati batas hidup, mendekati kematian dan kemudian kembali ke alam hidup menceritakan pengalaman mereka. Ternyata kebanyakan dari mereka melihat hal-hal yang berlainan. Argumen berdasarkan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan intuisi bertubi-tubi saling menjatuhkan. Ada beberapa argumen yang menurut saya sangat kuat dan bisa jadi mendekati kenyataan sebenarnya. Sejak remaja, saya selalu tertarik dengan science terutama ilmu kedokteran. Saya lebih banyak melihat dari sisi ini.

Meskipun demikian, saya tetap tidak bisa memecahkan misteri kematian. Banyak orang berbicara tentang kehidupan setelah kematian dan kehidupan sebelum kelahiran. Bagi saya ini adalah topik yang menarik tapi tidak penting. Seperti kata seorang penulis besar dari Amerika: It doesn't matter how you die. It is how you live.

Dalam hidupnya, Suharto telah berjasa besar, besar sekali bagi kita semua. Ia mengajari kita kesabaran yang luar biasa lewat penderitaan yang panjang dan nyaris tak tertahankan. Korupsi, perusakan hutan, monopoli kekayaan alam, pencemaran lingkungan, kegagalan KB, kacau balaunya penerapan hukum, bobroknya mutu pendidikan, pelanggaran HAM yang gila-gilaan...

Seperti kayu yang setelah mengalami tekanan ratusan tahun berubah menjadi berlian, begitu Suharto menempa kita. Hingga kini, di manapun saya berada, sebagai anak Indonesia yang pernah merasakan tekanan, horor dan keputus-asaan di negara sendiri, saya merasa beruntung karena mampu bertahan, sehat dan tidak menjadi gila. Setelah semua yang saya lihat dan alami di Indonesia selama pemerintahan Suharto, saya bisa hidup di mana saja dalam kondisi apapun juga. Saya tidak yakin, jika saya lahir dan besar di Swiss atau di negara maju yang lain, saya akan tumbuh sekuat ini.

Terima kasih, Pak Harto. Satu-satunya kesalahan anda adalah tidak mengajarkan ini semua pada anak-anak kandung anda dan orang-orang yang memuja dan mengelilingi anda. Kasihan mereka.

Merci Zeverina. A little love (every day) from Zürich to one and all.

Taken from Kompas Cyber Media Community